[KBR|Warita Desa] Kalau ditelusuri sejarahnya, novel Bumi Manusia (1980) adalah karya yang "berbahaya".
Penulisnya, Pramoedya Ananta Toer, pernah menjadi tahanan politik rezim Orde Baru selama belasan tahun karena dituduh terlibat gerakan "kiri". Pram pun menulis novel-novelnya dari dalam penjara ketika ia dibuang ke Pulau Buru.
Tak lama setelah terbit, novel Bumi Manusia (1980) dilarang beredar karena dianggap menyebarkan paham komunis, ideologi terlarang.
Novel Pram dituding menggambarkan pertentangan kelas sosial dengan vulgar, hingga dikhawatirkan bisa memantik perpecahan. Novelnya juga berisi kritik keras terhadap feodalisme, yang mengakar kuat di lembaga-lembaga kekuasaan dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Kendati demikian, aura "berbahaya" itu nyaris tak tampak dalam film Bumi Manusia (2019) besutan sutradara Hanung Bramantyo.
Malahan, film adaptasinya ini terkesan begitu "membumi", dalam artian terasa hidup, penuh warna-warni, serta dekat dengan hidup keseharian kita.
Bumi Manusia (2019) tayang perdana pada 15 Agustus 2019 di bioskop-bioskop Indonesia. Film ini diberi nyawa oleh aktor-aktris lintas generasi seperti Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, Sha Ine Febriyanti, Donny Damara, dan sederet nama lainnya.
Menyajikan Realita Kelam dengan Ramah
Meski mengangkat latar kehidupan tanah Jawa akhir abad ke-18, film Bumi Manusia (2019) menyajikan imaji-imaji yang berwarna cerah dan menyegarkan.
Berbagai realita kelam seperti penjajahan, perbudakan, pelacuran, pelecehan seksual, penindasan atas nama hukum, bahkan pembunuhan, disajikan dengan cukup "ramah" hingga tak menimbulkan syok atau ngeri berlebih pada penonton.
Film Bumi Manusia (2019) apik merangkai sejarah gelap kolonialisme itu dengan kisah cinta yang manis, dan selipan-selipan komedi sederhana yang terasa hangat dan jujur.
Selama tiga jam durasinya, penonton disuguhi susunan adegan dan dialog yang memancing tawa, haru, kesal, bahkan membuat kita bertanya-tanya apa artinya jadi manusia merdeka.
Setelah film selesai, penonton juga bisa membawa pulang banyak kutipan dialog yang indah, sarat makna, namun seringkali problematis. Saya sendiri bawa satu untuk oleh-oleh:
"Mas, kita pernah bahagia. Sudah, ingat itu saja." - Annelies Mellema
Oleh : Adi Ahdiat
Editor : Agus Lukman
https://m.kbr.id/intermezzo/08-2019/film_bumi_manusia_yang_sangat__membumi_/100213.html
Ari Wibowo
05 Juli 2022 09:48:15
Maju terus batiknya Gulurej0...