Kisah Kang Girin, dari Buruh hingga Bawa Desanya Jadi Kampung Batik Terkenal
Industri batik di Kecamatan Lendah di Kulon Progo, Yogyakarta, berkembang sangat cepat. Kampung-kampung di Lendah sekarang dihuni ribuan pembatik. Jauh sebelum krisis moneter menggoyang kemapanan ekonomi negeri ini di 1997, masyarakat Lendah dikenal sebagai pekerja bagi para usahawan dan pabrik di Yogyakarta, termasuk juragan batik. Setiap pagi, ratusan warga, kebanyakan perempuan, mengayuh sepeda dari Lendah ke Yogyakarta lalu kembali pada sore hari. Kang Girin, pemilik Sembung Batik di Desa Gulurejo, mengurai kembali kenangan itu. Sogirin, nama kecil Kang Girin, masih 13 tahun ketika mengawali jadi buruh di tahun 1987.
Tamat SD, Girin langsung ikut kakaknya kerja pada salah satu juragan batik di Tirtodipuran, Yogyakarta. Selain di Tirtodupuran, masih banyak juragan lain. Anak-anak seusia Girin tanpa keahlian bekerja di kota. Setiap hari, kaki kecil Girin mengayuh sepeda 30 kilometer jauhnya. Begitu pula saat kembali. Pergi pagi pulang sore. “Keputusan membatik merantau itu sudah dilakukan para simbah (orang tua) dan warga terdahulu. Rata-rata anak muda seusia saya kerja di Yogya. Itu kerja bagus bagi orang yang biasa pakai ijazah,” kata Girin. Perempuan nulis (mencanting) batik, sedangkan Girin terasah dengan cap dan mewarna. Dia kuat dalam menciptakan corak. Dalam perjalanan itu, muncul banyak konsep baru penuh kreativitas tentang corak batik di dalam kepalanya. Titik balik Dia hanya memendam konsep-konsep baru itu di benaknya hingga masa surut industri terjadi pada krisis ekonomi 1997. Apa-apa serba mahal, tahun itu. Banyak orang tak lagi mengandalkan hidup di kota. Banyak yang berdikari di kampung sendiri.
Girin yang sudah dewasa baru saja menikah saat itu. Semula, dia mengharap perbaikan renumerasi mengimbangi mahalnya harga barang. Dia hanya sanggup bertahan 2 tahun pasca-krisis ekonomi. Sebab, gaji tak ada perubahan, kebutuhan keluarga pun jadi taruhan. Dia memutuskan berhenti bekerja dari sang juragan. Fanatisme batik belum kuat masa itu. Dia merasa, berdikari bikin batik tidak menjanjikan. “Waktu itu siapa yang mau dengan batik. Tahun 1999 itu, saya bawa pulang ilmu batik. Siapa yang mau. Batik itu tidak laku, makanya usaha lain,” kata Girin. Karena itu, dia berani banting setir, seperti kerja di tambang pasir, bisnis cendol, kelapa, hingga kayu jati. Sepuluh tahun usaha mandiri gagal. Utang menggunung, cicilan menunggak berbulan-bulan. Budi Utomo, warga Kulon Progo, saat mampir di warung pun bangga mengenakan batik motif Geblek Renteng
Dalam risau kegagalan, Girin akhirnya memutuskan jualan batik bikinan sendiri sebagai jalan terakhir. Semangat itu makin berkobar karena ‘panas’ mendengar Malaysia mengklaim batik pada 2008-2009. “Saya niat mati opo mukti (mati atau wibawa) di jalan terakhir ini. Kalau uang (pinjaman) ini dipakai ngangsur akan habis, atau kalau dengan batik, mudah-mudahan ada hasil,” kata Girin. Dia membeli 14 potong kain dengan uang Rp 700.000 dari hasil menggadai satu-satunya telepon selular miliknya. Dia memutar memori masa lalu. Konsep batik kreatif yang pernah tersimpan di benaknya saat kerja dulu, siap untuk dilahirkan. Untuk mewujudkan corak itu, dia meminjam cap dan pewarna pada seorang teman. Girin dengan keahlian batik cap membuat 3 corak dengan warna berbeda-beda dalam tiap potong kain. Dia mengakui, corak itu sebenarnya hanya untuk menutupi keterbatasan diri karena minim modal. Hasilnya justru memunculkan corak Batik Pulo yang tren sekarang. “Ketika ditanya, itu batik apa. Saya jawab itu Batik Pulo. Kok satu batik ada banyak warna. Saya jawab warna pelangi, warna kontemporer. Memasyarakatlah Batik Pulo ya seperti itu,” kata Girin. Sejak saat itu, pesanan demi pesanan mulai mengalir. “Karena itu saya berpikir, ternyata orang selama ini tidak suka batik karena batik itu monoton,” kata Girin. Dia bertekad membatik secara massal. Jalannya terbuka ketika ditawari modal Rp 6 juta sekaligus ikut pameran UMKM di Yogyakarta. Uang dipakai untuk memproduksi batik kreatif Rp 48.000-60.000 per kain. Ketika pameran, Girin membanderol batiknya lebih dari 8 kali lipat biaya produksi. Harga itu untuk menghormati mantan-mantan juragannya yang kebetulan ikut serta dalam pameran UMKM itu. Sebanyak 70 potong kain batik habis terbeli di pameran. Dia untung puluhan juta rupiah. Girin pun lolos dari bencana kebangkrutan. Itu titik balik hidupnya dari keterpurukan. “Mulailah saya dikenal. Mantan juragan saya menjadikan saya mitra untuk menyuplai galeri mereka yang ada di Yogyakarta maupun Bogor sampai sekarang. Permintaannya besar sampai saya tak kuat, sedangkan saya punya toko. Saya juga mensuplai ke beberapa tempat,” kata Girin. Girin menamai bikinannya Sembung Batik yang berarti batik rakyat asal Dusun Sembungan. Sembungan sendiri diambil dari nama orang terpandang di dusun itu. Mencintai batik Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo, lanjut dia, punya andil besar dalam perkembangan Lendah. Ia menerapkan kebijakan cinta produk lokal, termasuk batik. Karena kebijakan pemerintah itu, permintaan batik di Lendah pun meningkat. “Memang masa Pak Bupati Hasto membuat hidup kami jadi enak,” kata Girin. Apalagi, Geblek Renteng jadi ikon batik kabupaten sekitar 4 tahun lalu. Geblek itu makanan khas Kulon Progo berbentuk seperti angka 8. Batik dengan dominasi ‘angka 8’ tentu khas Kulon Progo. Motif Geblek Renteng itu mengadopsi bentuk geblek, makanan khas asal Kulon Progo, Yogyakarta. Geblek memang dibikin seperti angka 8 dan jadilah motif istimewa bagi Kulon Progo
Lendah pun makin berkembang, pengrajin batik jadi semakin hidup, disusul kemunculan di kecamatan lain, seperti di Nanggulan hingga Samigaluh. Toko dan galeri batik tumbuh di mana-mana. Di Gulurejo saja, ada 5 galeri menojolkan diri dengan nama sendiri. Lendah, kata Girin, sekarang sekitar 23 pengrajin batik dan yang dulu pernah mengayuh sepeda bersama Girin, kini ikut para pengrajin lokal yang terus naik daun. “Ada yang ikut saya, Sinar Abadi, Faras Batik, dan lain-lain. Mereka tidak kerja di Yogya lagi. Sekarang sudah ada batik di sini,” kata Girin. Pembatik terus bertambah seiring kebanggaan warga Kulon Progo pada Geblek Renteng itu. Pembelinya dari mana-mana. “Dulunya dari 200-300 orang (pembatik) di Lendah sekarang 1500 pengrajin. Lendah itu sangat merasakan perkembangan batik ini,” kata Bupati Hasto saat meresmikan Taman Budaya Kulon Progo, belum lama. “Ada satu kabupaten di Kalimantan Selatan, seluruh karyawannya kompak belanjanya di Kulon Progo sampai lebih Rp 2 miliar. Seragam karyawannya juga geblek renreng. Kami bersyukur,” tambahnya.
Karena Geblek Renteng, lanjut Girin, batik corak lain ikut terdongkrak. Selain Batik Pulo, Sembung Batik punya batik abstrak, cap kombinasi dan batik tulis. Girin mengatakan, setiap hari libur, omsetnya naik 30 persen. Separuh produksinya corak Geblek Renteng, separuh lagi corak gaya Sumbung Batik. Kampung-kampung batik di Lendah tak pernah sepi pembeli hingga kini. Tak cuma pembeli, banyak juga yang mampir ke sana sengaja hanya untuk wisata menyaksikan orang membatik. Warga di sana sangat ramah memberi petunjuk dan arah tempat-tempat kelompok pembatik dan menimbulkan kesan betapa bangganya warga pada kampung mereka. “Bule datang ke sini untuk wisata juga pernah,” kata Girin. Lendah bisa didatangi dari Yogyakarta menuju Wates. Setelah daerah Gamping, melewati Pasar Sentolo Baru, jalan sedikit sekitar setengah kilometer, lantas belok ke kiri. Masukilah jalan aspal mulus ke desa industri. Setelah berjalan kira-kira 7 kilometer, maka akan ketemu Pasar Ngentakrejo. Galeri Sembung Batik tak jauh dari pasar itu, dan banyak galeri lain di sana.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Kang Girin, dari Buruh hingga Bawa Desanya Jadi Kampung Batik Terkenal", https://yogyakarta.kompas.com/read/2018/03/24/10485821/kisah-kang-girin-dari-buruh-hingga-bawa-desanya-jadi-kampung-batik-terkenal?page=all.
Penulis : Kontributor Yogyakarta, Dani Julius Zebua
Editor : Caroline Damanik
Ari Wibowo
05 Juli 2022 09:48:15
Maju terus batiknya Gulurej0...